الكَواكبُ الّمَاعَة
(Bagian ke empat)
MASALAH I
Jika dikatakan : "Bolehkah
dikatakan pada masa kini bagi orang yang tidak taqlid kepada sebuah madzhab dari Madzhab Empat, serta
dia menduga bahwasanya dia itu seorang mujtahid,
"bahwa dia itu Ahlussunnah wal jama'ah" ?"
Saya jawab :
"Tidak boleh !!"
Karena dia
bukan dari kalangan ahli hadits, bukan dari Shufiyyah, bukan dari 'Asya'iroh,
dan bukan pula dari Maturidiyyah. Adapun alasan mengapa dia tidak termasuk
katagori Ahli hadits, tiada lain karena alasan-alasan yang nanti akan
dijelaskan. Sedangkan alasan mengapa dia tidak termasuk katagori shufiyyah,
maka (alasannya) sudah jelas, yaitu karena meraka yang melemparkan Madzhab
Empat itu sebagian dari terkerasnya orang
yang mengingkari Golongan Shufiyyah. Lalu alasan apa dia tidak termasuk
golongan 'Asyairoh serta tidak pula Muturidiyyah. Alasannya adalah karena sesuatu
alasan yang terdahulu, yaitu bahwasanya Imam Abul Hasan 'Asy'ari berdiri tiada
lain dengan berpegang nash-nash madzhab
Imam Syafi'i. Sementara Imam Abu Manshur Maturidi berdiri tiada lain dengan
berpegang nash-nash madzhab Imam Abi
Hanifah. Dan telah dijelaskan pula bahwa Golongan Madzhab Maliki semuanya
'Asya'iroh. Dan begitu pula para tokoh ulama dari madzhab Hanbali sama-sama
'Asya'iroh. Juga telah dahulu dijelaskan bahwa Para ulama ahli madzhab Empat
semuanya 'Asya'iroh dan Maturidiyyah kecuali memang orang yang terpengaruh
dengan faham tajsim (keyakinan bahwa Allah adalah jisim; benda, yang
mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan faham mu'tajilah. Karenanya, mestilah
dari tidak adanya taqlid kepada salah satu madzhab empat berarti tidak terbukti
penganut faham 'Asy'ari atau faham Maturidi. Kemudian akhirnya terbukti dari tidak
termasuknya dalam salah satu madzhab empat maka pastilah bukan dari Ahlussunnah
wal jama'ah karena alasan tadi, yaitu bahwa Nama ini merupakan nama khusus
untuk Golongan Yang Empat itu di dalam
'urf.
MASALAH II
Jika ada yang
berkata, :
"Kalian
mengakui ahli hadits itu dari bagian Ahlussunnah wal jama'ah. Sementara kami
juga adalah ahli hadits karena sesungguhnya kami membuang Madzhab empat untuk
kembali pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Nah bagaimana bisa kalian tidak
mengakui kami termasuk Ahlussunnah wal jama'ah ?"
Jawabannya :
"Sesungguhnya bahwa lafadz hadits atau
muhaddits sebagian dari lafadz-lafadz yang diishthilahkan oleh para ulama ahli
hadits untuk makna yang khusus. Bentuk isthilahnya adalah bahwa mareka telah
membuat lafadz itu sebagai nama bagi orang yang telah memenuhi syarat-syarat
yang berlaku munurut mereka. Maka wajib memaknai lafadz itu tatkala diungkapkan
terhadap makna yang sudah pada dikenal di kalangan mereka.
Karena itulah Imam
Ibnu Subki (771 H) pernah berkata dalam kitabnya, Mu'idun Ni'am wa Mubidun
Niqom :
المحدث
من عرف الأسانيد و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة
من المتون وسمع الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا
القدر ألف جزء من الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار
على الشيوخ وكتب الطباق وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات
المحدثين ثم يزيد الله تعالى من شاء ماشاء اه
Berkata Imam
Al-Hafidh Sakhowi (902 H) dalam al-Jawahir wad Duror, "Yang
terbatas hanya pada mendengarkan (hadits) tidak bisa dinamakan muhaddits. Dan
diriwayatkan dari Imam Malik bahwa yang terbatas pada mendengarkan saja tidak
boleh diambil ilmu darinya."
Dan oleh sebab
itu anda akan tahu bahwa orang yang membuang Madzhab Empat dan kemudian beralih
pada hadits sedangkan dia belum memenuhi Syarat-syarat yang tersebut di atas maka
dia itu belum termasuk dari Ahli Hadits menurut 'urf. Maka belum pula termasuk
Ahlussunnah wal jama'ah. Seorang insan tidak akan menjadi ahli dalam sebuah
bidang ilmu dengan hanya menggelutinya dan menekuninya sehingga ilmunya sampai
meliputi sebagian besar masalah-masalahnya dan jadi menyatu dalam jiwanya. Ahli nahwu dengan hanya menggeluti dan
ketekunannya pada fiqh atau nahwu kecuali jika fiqh atau nahwunya telah menjadi
melekat pada jiwanya. Apalagi ini orang yang tak ada pengetahuan tentang hadits
kecuali namanya saja atau dia tidak mempuyai ilmu kecuali beberapa hadits yang
tersebar di dalam isi kitab-kitab yang memang bukan dari antara kitab-kitab
hadits atau berserakan pada lembaran-lembaran berbagai jilid kitab dan koras.
Maka tentu saja orang seperi itu samasekali tidak termasuk hitungan dari
kalangan ahli hadits.
MASALAH III
Jika dikatakan :
"Bagaimana bisa kalian
memperhitungkan Kaum shufiyyah dari Ahlussunnah wal jama'ah ? sedangkan telah
dikatakan bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Kaum Budha India dan para ahli
filsafat Yunani. Karenanya, mereka itu kalau tidak termasuk kafir maka
(minimal) fasiq, sebagaimana dalam kitab Akhlaq lilghozali karangan DR.
Zakky Mubarok Mesir, juga seperti yang dikutip oleh Sayyid Zabidi (1205
H) dari Al-Maziri dalam muqoddimah Syarah Ihya."
Saya jawab :
"Semoga terhindar dari hal seperti
itu dan Janganlah begitu ! Melainkan mereka itu orang-orang muslim pilihan dan
sebagai sosok-sosok muslim unggulan. Karena haqiqat dari Shufi itu adalah
seorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. "
Berkata Ibnu
Subki (771 H) dalam kitab Jam'ul Jawami' : "Dan sesungguhnya ajaran
Syekh Junaed dan para sahabatnya merupakan ajaran yang lurus." Dan berkata
pula Syekh Jalaluddin Mahalli (769-864 H) dalam Syarah Jam'ul jawami' :
"Karena sesungguhnya ajaranya itu
luput dari bid'ah, beredar pada ketundukkan dan kepasrahan (pada Allah
SWT) dan terbebas dari hawa nafsu.”
Di antara
pernyataan Syekh Junaed adalah : "Semua jalan menuju Allah SWT itu
tertutup terhadap semua makhluknya kecuali terhadap orang-orang yang mengikuti
jejak-jejak rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallama.”
Berkata Qutbul
Aulia Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H) dalam Muqoddimah Tobaqotus Shufiyyah,
"Kemudian ketahuilah wahai saudaraku rohimakalloh sesungguhnya ilmu
tashowuf itu…
أَنَّ
عِلْمَ التَّصَوُّفِ عِبَارَةٌ عَنْ عِلْمِ انْقَدَحَ فِىْ قُلُوْبِ الْأَوْلِيَاءِ
حِيْنَ اسْتَنَارَتْ بِالْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (مع الإخلاص)
…adalah sebutan bagi suatu ilmu yang terwadahi dalam hati para
aulia ketika menjadi terang benderang oleh pengamalannya pada Kitab Suci
Al-Qur'an dan Sunnah Rosul. Maka setiap yang bisa mengamalkan keduanya itu akan
tampak baginya dari pengamalan itu berbagai ilmu, adab-kesopanan,
rahasiah-rahasiah bathin, dan segala haqiqat sesuatu yang tak teruraikan dengan
kata-kata, setara dengan apa yang tampak pada para ulama pemangku Syari'at,
yaitu hukum-hukum (furu') tatkala mereka mengamalkan apa yang mereka telah
ketahui dari hukum-hukum syari'at itu. Maka Ajaran Tashowuf itu adalah
merupakan intisari dari pengamalannya seorang hamba pada hukum-hukum syari'at
jika amalannya itu telah terbebas dari berbagai macam penyakit bathin dan
keinginan hawa nafsu. Seperti halnya ilmu ma'ani dan bayan
merupakan intisari dari ilmu nahwu. Lalu orang yang menjadikan ilmu tashowuf
sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya
sebagai intisari hokum-hukum syari'at maka dia juga benar. Tak berbeda halnya dengan orang yang
menjadikan ilmu ma'ani dan bayan sebuah cabang ilmu yang mandiri
maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai bagian dari ilmu nahwu dia
juga benar. Namun masalahnya adalah tidak akan terhirup dalam hati bahwa ajaran
tashowuf itu merupakan intisari dari syari'at kecuali oleh orang yang (melaut)
luas dan dalam di dalam ilmu syari'atnya sehingga dia dapat mencapai puncak
tertinggi. Sementara telah ijma Kaum Ini bahwa tidak patut untuk tampil dalam
ajaran thoriqoh menuju Allah 'azza wa jalla kecuali orang yang telah
luas dan dalam ilmu syari'atnya serta telah mengetahui semua makna
syariat baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang khusus maupun yang
umumnya, baik nasikh maupun mansukhnya dan memiliki kemampuan yang luas dalam
bahasa Arab sampai mengetahui bermacam-macam bentuk majaz dan isti'arah
dan sebagainya. Karena itu maka setiap ahli tashowuf pastilah seorang faqih
tapi tidak sebaliknya."
Dan berkata Yang
dipertuan dalam golongan ini yaitu Imam Junaed Rodliallohu 'anhu
: "Madzhab kita ini terikat pada dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur'an
dan Sunah" Juga beliau katakan : "Barangsiapa yang belum sempat hapal
Al-qur'an dan belum menulis hadits maka dia itu tidak berhak diikuti di
dalam urusan ini, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan kami ini terikat pada Kitab
dan Sunnah."
Dan Berkata
Qutb Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H), "Ternyata Syekh
'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu (577-660 H) selalu mengatakan setelah ikut
bergabung dalam ajaran Syekh Abil Hasan Syadzili dan setelah ikut
memberi pengakuan bagi Kaum (Shufi) ini, "di antara dalil terkuat yang
menunjukan bahwa Golongan Syufiyyah berada pada asas agama yang terkokoh adalah
apa yang suka terjadi pada mereka yaitu Karomahnya dan kejadian-kejadian luar
biasanya. Dan tidak akan terjadi apapun dari yang demikian itu bagi seorang
faqih kecuali kalau dia itu telah menempuh ajarannya Kaum Shufi, sebagaimana
hal itu telah jelas terbukti."
Beliau
menambahkan :
" Dan konon Syekh
'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu sebelumnya bersikap
menentang terhadap Kaum Shufi ini. Beliau suka mengkritik, "Adakah bagi
kita thoriqoh lain selain thoriqohnya Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah Nabi."
Kemudian tatkala beliau merasakan suka dukanya dunia shufi dan dapat memutuskan
rantai besi hanya dengan sehelai daun maka beliau memuji-muji Kaum Shufiyyah
ini setinggi-tingginya."
Itulah
merupakan hal inti dalam ajaran tashowuf dan tentang kehidupan orang-orang
jujur dari kalangan Shufiyyah. Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa dirinya
menempuh ajaran Shufi sedangkan dia itu
bukan dari golongan shufiyyah maka tidak perlu lagi ada perbincangan tentangnya,
karena sesungguhnya mereka itu mengaku bertashowuf namun tidak memenuhi syarat-syaratnya.
Sementara yang namanya syarat itu adalah timbulnya ketidak-beradaan sesuatu
dari ketidak-adaannya. Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang menghakimi seluruh
Kaum shufiyyah dengan kreteria hokum mereka yang mengaku Shufi namun nyatanya
hanyalah para pembohong maka dia sungguh telah berbuat kesalahan besar, karena dia
telah menghakimi suatu perkara dengan kreteria hokum untuk perkara lain. Orang itu
tak bedanya seperti orang melihat potret kuda lalu dia katakan "Inilah
kuda dan setiap kuda suka meringkik jadi ini suka meringkik" sembari
menunjuki potret tersebut. Seperti itulah (yang dalam fan mantiq) dinamakan kalimat safsathoh, yang sering digunakan
oleh para penentang untuk mengecoh dan menarik hati orang-orang awam yang
berpikiran dangkal dan sempit. Para penentang itu adalah orang yang selalu
bersikap berlebihan, melampaui batas. Bahkan orang yang menghukumi bahwa para
pengaku shufi itulah yang termasuk Golongan Shufiyyah dengan pengertian umum itu
telah berbuat kesalahan juga, karena telah menghakimi hal global dengan hukum
parsial. Seperti halnya seorang hakim yang melihat buaya yang sedang
menggerakan rahang atasnya lalu dia katakan, "Ini adalah seekor hewan,
berarti setiap hewan dapat menggerakan rahangnya yang atas." Tak keliru
lagi bagi orang yang berakal , sebagai pusaka terendah sekalipun, akan payahnya
pernyataan tersebut. Berarti orang yang melihat seorang manusia gila lalu dia katakan,
"sesungguhnya dia ini gila, tetapi dia seorang manusia, berarti setiap
manusia itu bisa gila." Kalau demikian tak disangsikan lagi bahwa orang itulah
yang gila.
Inilah kiranya kadar yang cukup sebagai jawaban bagi orang yang dilindungi taufiqnya. Akan tetapi lain halnya dengan orang yang terbiarkan (sesat) yang tidak mendapatkan manfa'at apapun dari proses kebenaran ini. Dia malah berkata bahwa proses ini hanyalah untuk memperindah dan penghias semata.
(Bersambung ke bagian lima)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar