Sabtu, 23 Agustus 2008

Bintang Terang-benderang tentang Ahlussunnah Wal Jama'ah (Ke-4)




الكَواكبُ الّمَاعَة


(Bagian ke empat)



MASALAH  I

Jika dikatakan       : "Bolehkah dikatakan pada masa kini bagi orang yang tidak taqlid kepada     sebuah madzhab dari Madzhab Empat, serta dia menduga bahwasanya dia itu seorang  mujtahid, "bahwa dia itu Ahlussunnah wal jama'ah" ?"

Saya jawab            :  "Tidak boleh !!"

Karena dia bukan dari kalangan ahli hadits, bukan dari Shufiyyah, bukan dari 'Asya'iroh, dan bukan pula dari Maturidiyyah. Adapun alasan mengapa dia tidak termasuk katagori Ahli hadits, tiada lain karena alasan-alasan yang nanti akan dijelaskan. Sedangkan alasan mengapa dia tidak termasuk katagori shufiyyah, maka (alasannya) sudah jelas, yaitu karena meraka yang melemparkan Madzhab Empat itu sebagian dari terkerasnya orang  yang mengingkari Golongan Shufiyyah. Lalu alasan apa dia tidak termasuk golongan 'Asyairoh serta tidak pula Muturidiyyah. Alasannya adalah karena sesuatu alasan yang terdahulu, yaitu bahwasanya Imam Abul Hasan 'Asy'ari berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Syafi'i. Sementara Imam Abu Manshur Maturidi berdiri tiada lain dengan berpegang nash-nash madzhab Imam Abi Hanifah. Dan telah dijelaskan pula bahwa Golongan Madzhab Maliki semuanya 'Asya'iroh. Dan begitu pula para tokoh ulama dari madzhab Hanbali sama-sama 'Asya'iroh. Juga telah dahulu dijelaskan bahwa Para ulama ahli madzhab Empat semuanya 'Asya'iroh dan Maturidiyyah kecuali memang orang yang terpengaruh dengan faham tajsim (keyakinan bahwa Allah adalah jisim; benda, yang mempunyai ukuran, besar atau kecil) dan faham mu'tajilah. Karenanya, mestilah dari tidak adanya taqlid kepada salah satu madzhab empat berarti tidak terbukti penganut faham 'Asy'ari atau faham Maturidi. Kemudian akhirnya terbukti dari tidak termasuknya dalam salah satu madzhab empat maka pastilah bukan dari Ahlussunnah wal jama'ah karena alasan tadi, yaitu bahwa Nama ini merupakan nama khusus untuk  Golongan Yang Empat itu di dalam 'urf.

MASALAH  II

Jika ada yang berkata, :
                         "Kalian mengakui ahli hadits itu dari bagian Ahlussunnah wal jama'ah. Sementara kami juga adalah ahli hadits karena sesungguhnya kami membuang Madzhab empat untuk kembali pada Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Nah bagaimana bisa kalian tidak mengakui kami termasuk Ahlussunnah wal jama'ah ?"

Jawabannya  : 
 "Sesungguhnya bahwa lafadz hadits atau muhaddits sebagian dari lafadz-lafadz yang diishthilahkan oleh para ulama ahli hadits untuk makna yang khusus. Bentuk isthilahnya adalah bahwa mareka telah membuat lafadz itu sebagai nama bagi orang yang telah memenuhi syarat-syarat yang berlaku munurut mereka. Maka wajib memaknai lafadz itu tatkala diungkapkan terhadap makna yang sudah pada dikenal di kalangan mereka.

Karena itulah Imam Ibnu Subki (771 H) pernah berkata dalam kitabnya, Mu'idun Ni'am wa Mubidun Niqom :
 
المحدث من عرف الأسانيد و العلل وأسماء الرجال والعالى والنازل وحفظ مع ذلك جملة مستكثرة من المتون وسمع الكتب الستة ومسند أحمد وسنن البيهقى ومعجم الطبرنى وضم إلى هذا القدر ألف جزء من الأجزاء الحديثية كان ذلك أقل درجاته فإذا سمع ما ذكرناه ودار على الشيوخ وكتب الطباق وتكلم فى العلل والوفيات والأسانيد عد فى أول درجات المحدثين ثم يزيد الله تعالى من شاء ماشاء اه 

Berkata Imam Al-Hafidh Sakhowi (902 H) dalam al-Jawahir wad Duror, "Yang terbatas hanya pada mendengarkan (hadits) tidak bisa dinamakan muhaddits. Dan diriwayatkan dari Imam Malik bahwa yang terbatas pada mendengarkan saja tidak boleh diambil ilmu darinya."

Dan oleh sebab itu anda akan tahu bahwa orang yang membuang Madzhab Empat dan kemudian beralih pada hadits sedangkan dia belum memenuhi Syarat-syarat yang tersebut di atas maka dia itu belum termasuk dari Ahli Hadits menurut 'urf. Maka belum pula termasuk Ahlussunnah wal jama'ah. Seorang insan tidak akan menjadi ahli dalam sebuah bidang ilmu dengan hanya menggelutinya dan menekuninya sehingga ilmunya sampai meliputi sebagian besar masalah-masalahnya dan jadi menyatu dalam jiwanya.   Ahli nahwu dengan hanya menggeluti dan ketekunannya pada fiqh atau nahwu kecuali jika fiqh atau nahwunya telah menjadi melekat pada jiwanya. Apalagi ini orang yang tak ada pengetahuan tentang hadits kecuali namanya saja atau dia tidak mempuyai ilmu kecuali beberapa hadits yang tersebar di dalam isi kitab-kitab yang memang bukan dari antara kitab-kitab hadits atau berserakan pada lembaran-lembaran berbagai jilid kitab dan koras. Maka tentu saja orang seperi itu samasekali tidak termasuk hitungan dari kalangan ahli hadits.

MASALAH  III

Jika dikatakan             :
"Bagaimana bisa kalian memperhitungkan Kaum shufiyyah dari Ahlussunnah wal jama'ah ? sedangkan telah dikatakan bahwa mereka itu mengambil ilmu dari Kaum Budha India dan para ahli filsafat Yunani. Karenanya, mereka itu kalau tidak termasuk kafir maka (minimal) fasiq, sebagaimana dalam kitab Akhlaq lilghozali karangan DR. Zakky Mubarok Mesir, juga seperti yang dikutip oleh Sayyid Zabidi (1205 H) dari Al-Maziri dalam muqoddimah Syarah Ihya."

Saya jawab      :
"Semoga terhindar dari hal seperti itu dan Janganlah begitu ! Melainkan mereka itu orang-orang muslim pilihan dan sebagai sosok-sosok muslim unggulan. Karena haqiqat dari Shufi itu adalah seorang alim yang mengamalkan ilmunya dengan penuh keikhlasan. "

Berkata Ibnu Subki (771 H) dalam kitab Jam'ul Jawami' : "Dan sesungguhnya ajaran Syekh Junaed dan para sahabatnya merupakan ajaran yang lurus." Dan berkata pula Syekh Jalaluddin Mahalli (769-864 H) dalam Syarah Jam'ul jawami' : "Karena sesungguhnya ajaranya itu  luput dari bid'ah, beredar pada ketundukkan dan kepasrahan (pada Allah SWT) dan terbebas dari hawa nafsu.”
Di antara pernyataan Syekh Junaed adalah : "Semua jalan menuju Allah SWT itu tertutup terhadap semua makhluknya kecuali terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak rosulullah Shollallahu 'alaihi wasallama.”

Berkata Qutbul Aulia Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H) dalam Muqoddimah Tobaqotus Shufiyyah, "Kemudian ketahuilah wahai saudaraku rohimakalloh sesungguhnya ilmu tashowuf itu…

أَنَّ عِلْمَ التَّصَوُّفِ عِبَارَةٌ عَنْ عِلْمِ انْقَدَحَ فِىْ قُلُوْبِ الْأَوْلِيَاءِ حِيْنَ اسْتَنَارَتْ بِالْعَمَلِ بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ (مع الإخلاص)

 …adalah sebutan bagi suatu ilmu yang terwadahi dalam hati para aulia ketika menjadi terang benderang oleh pengamalannya pada Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunnah Rosul. Maka setiap yang bisa mengamalkan keduanya itu akan tampak baginya dari pengamalan itu berbagai ilmu, adab-kesopanan, rahasiah-rahasiah bathin, dan segala haqiqat sesuatu yang tak teruraikan dengan kata-kata, setara dengan apa yang tampak pada para ulama pemangku Syari'at, yaitu hukum-hukum (furu') tatkala mereka mengamalkan apa yang mereka telah ketahui dari hukum-hukum syari'at itu. Maka Ajaran Tashowuf itu adalah merupakan intisari dari pengamalannya seorang hamba pada hukum-hukum syari'at jika amalannya itu telah terbebas dari berbagai macam penyakit bathin dan keinginan hawa nafsu. Seperti halnya ilmu ma'ani dan bayan merupakan intisari dari ilmu nahwu. Lalu orang yang menjadikan ilmu tashowuf sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai intisari hokum-hukum syari'at maka dia juga benar.  Tak berbeda halnya dengan orang yang menjadikan ilmu ma'ani dan bayan sebuah cabang ilmu yang mandiri maka dia itu benar dan yang menjadikannya sebagai bagian dari ilmu nahwu dia juga benar. Namun masalahnya adalah tidak akan terhirup dalam hati bahwa ajaran tashowuf itu merupakan intisari dari syari'at kecuali oleh orang yang (melaut) luas dan dalam di dalam ilmu syari'atnya sehingga dia dapat mencapai puncak tertinggi. Sementara telah ijma Kaum Ini bahwa tidak patut untuk tampil dalam ajaran thoriqoh menuju Allah 'azza wa jalla kecuali orang yang telah luas dan dalam ilmu syari'atnya serta telah mengetahui semua makna syariat baik yang tersurat maupun yang tersirat, baik yang khusus maupun yang umumnya, baik nasikh maupun mansukhnya dan memiliki kemampuan yang luas dalam bahasa Arab sampai mengetahui bermacam-macam bentuk majaz dan isti'arah dan sebagainya. Karena itu maka setiap ahli tashowuf pastilah seorang faqih tapi tidak sebaliknya."

Dan berkata Yang dipertuan dalam golongan ini yaitu Imam Junaed Rodliallohu 'anhu : "Madzhab kita ini terikat pada dasar-dasar Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah" Juga beliau katakan : "Barangsiapa yang belum sempat hapal Al-qur'an dan belum menulis hadits maka dia itu tidak berhak diikuti di dalam urusan ini, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan kami ini terikat pada Kitab dan Sunnah."
Dan Berkata Qutb Abdul Wahhab Sya'roni (899-973 H), "Ternyata Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu  (577-660 H) selalu mengatakan setelah ikut bergabung dalam ajaran Syekh Abil Hasan Syadzili dan setelah ikut memberi pengakuan bagi Kaum (Shufi) ini, "di antara dalil terkuat yang menunjukan bahwa Golongan Syufiyyah berada pada asas agama yang terkokoh adalah apa yang suka terjadi pada mereka yaitu Karomahnya dan kejadian-kejadian luar biasanya. Dan tidak akan terjadi apapun dari yang demikian itu bagi seorang faqih kecuali kalau dia itu telah menempuh ajarannya Kaum Shufi, sebagaimana hal itu telah jelas terbukti."

Beliau menambahkan :

" Dan konon Syekh 'Izzuddin bin Abdis Salam Rodliallohu 'anhu sebelumnya bersikap menentang terhadap Kaum Shufi ini. Beliau suka mengkritik, "Adakah bagi kita thoriqoh lain selain thoriqohnya Kitab Suci Al-Qur'an dan Sunah Nabi." Kemudian tatkala beliau merasakan suka dukanya dunia shufi dan dapat memutuskan rantai besi hanya dengan sehelai daun maka beliau memuji-muji Kaum Shufiyyah ini setinggi-tingginya."

Itulah merupakan hal inti dalam ajaran tashowuf dan tentang kehidupan orang-orang jujur dari kalangan Shufiyyah. Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa dirinya menempuh ajaran Shufi  sedangkan dia itu bukan dari golongan shufiyyah maka tidak perlu lagi ada perbincangan tentangnya, karena sesungguhnya mereka itu mengaku bertashowuf  namun tidak memenuhi syarat-syaratnya. Sementara yang namanya syarat itu adalah timbulnya ketidak-beradaan sesuatu dari ketidak-adaannya. Oleh sebab itu, maka barangsiapa yang menghakimi seluruh Kaum shufiyyah dengan kreteria hokum mereka yang mengaku Shufi namun nyatanya hanyalah para pembohong maka dia sungguh telah berbuat kesalahan besar, karena dia telah menghakimi suatu perkara dengan kreteria hokum untuk perkara lain. Orang itu tak bedanya seperti orang melihat potret kuda lalu dia katakan "Inilah kuda dan setiap kuda suka meringkik jadi ini suka meringkik" sembari menunjuki potret tersebut. Seperti itulah (yang dalam fan mantiq) dinamakan  kalimat safsathoh, yang sering digunakan oleh para penentang untuk mengecoh dan menarik hati orang-orang awam yang berpikiran dangkal dan sempit. Para penentang itu adalah orang yang selalu bersikap berlebihan, melampaui batas. Bahkan orang yang menghukumi bahwa para pengaku shufi itulah yang termasuk Golongan Shufiyyah dengan pengertian umum itu telah berbuat kesalahan juga, karena telah menghakimi hal global dengan hukum parsial. Seperti halnya seorang hakim yang melihat buaya yang sedang menggerakan rahang atasnya lalu dia katakan, "Ini adalah seekor hewan, berarti setiap hewan dapat menggerakan rahangnya yang atas." Tak keliru lagi bagi orang yang berakal , sebagai pusaka terendah sekalipun, akan payahnya pernyataan tersebut. Berarti orang yang melihat seorang manusia gila lalu dia katakan, "sesungguhnya dia ini gila, tetapi dia seorang manusia, berarti setiap manusia itu bisa gila." Kalau demikian tak disangsikan lagi bahwa orang itulah yang gila.

Inilah kiranya kadar yang cukup sebagai jawaban bagi orang yang dilindungi taufiqnya. Akan tetapi lain halnya dengan orang yang terbiarkan (sesat) yang tidak mendapatkan manfa'at apapun dari proses kebenaran ini. Dia malah berkata bahwa proses ini hanyalah untuk memperindah dan penghias semata.

(Bersambung ke bagian lima) 

Tidak ada komentar: