Jumat, 20 Oktober 2017

Gagasan Gus Dur


GAGASAN GUS DUR UNTUK EKONOMI

Irwan Wisanggeni*

Tanggal 30 Desember yang lalu genap 2 tahun (2009-2011) bangsa Indonesia kehilangan  KH Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, tokoh fenomenal dan guru bangsa yang eksentrik. Penulis memiliki kesan yang dalam terhadap gagasan dan pemikiran-pemikiran Gus Dur, terutama soal ekonomi dan  perpajakan.

Penulis terkesan ketika dis­kusi dengan Gus Dur saat bertemu di tahun 1998 pas­­ca kerusuhan Mei di ru­mah­­nya yang asri di Warung Sila Ciganjur, gagasan Gus Dur soal ekonomi kerakyatan dan per­pajakan yang dikemukakan di­depan para aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Mas­ya­rakat (LSM) saat itu. Gus Dur belum menjabat sebagai RI 1, walau dilontarkan pemikiran-pe­mikiranya dengan nada gu­yo­nan khasnya tapi ide-ide Gus Dur begitu tajam memukau se­mua orang yang terlibat dis­kusi saat itu. Beberapa pemikiran Gus Dur yang didiskusikan di Wa­rung Sila, di gelontorkan Gus Dur saat ia memangku ja­ba­tan sebagai RI 1.

Ketika Gus Dur memangku ja­batan sebagai Presiden melalui po­ros tengah pada tahun 1999, beberapa langkah strategis sem­pat diambil oleh Gus Dur da­lam konteks ekonomi dan per­pajakan. Beberapa bulan setelah beliau dilantik, Gus Dur a­kan menggunakan hukum pajak untuk "menundukan" man­tan Presiden Soeharto. Fra­se "menundukan" disini dapat diartikan pengembalian uang negara atau uang rakyat dan upaya penegakan supremasi hukum.

Alasan inipun menjadi terbuka ketika Gus Dur muncul dalam aca­ra talkshow dalam sebuah acara di televisi swasta, yang saat itu dihadiri oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Machfud Sidik, pakar ekonomi almarhum Syah­rir dan Sri Bintang Pa­mung­kas. Untuk menaklukan man­tan Presiden Soeharto, Gus Dur berkaca pada pengalaman Eliot­ness dalam menggulung bandit Al Capone yang awalnya licik bak belut untuk ditangkap, namun pada akhirnya bertekuk lu­tut saat ditekan dengan pe­raturan perpajakan yang me­rupakan produk dari hukum pajak. Hal serupa akan di­te­rap­kan oleh Gus Dur untuk me­narik balik harta kekayaan man­tan Presiden Soeharto. Ba­­gaimana hasilnya? Hasilnya memang tidak berjalan dengan suk­ses, suatu hal yang wajar di­karenakan umur pe­me­rin­ta­han Gus Dur saat itu baru  4 bu­lan, sedangkan kekuasaan Soe­­harto sudah 32 tahun. Na­mun pemikiran cerdas Gus Dur soal ini perlu mendapatkan  pu­­jian.

Perombakan di tubuh Di­rek­to­rat Jenderal Pajak pun di la­ku­kan oleh Gus Dur dengan sa­ngat berani, Gus Dur tidak hanya mengganti Machfud Sidik sebagai Dirjen Pajak melainkan me­lakukan penggeseran secara besar-besaran. Pejabat eselon ter­sebut harus menerima nasib di­geser ke posisi lainya yang ti­dak lagi strategis. Biasanya me­reka ditempatkan sebagai ke­pala Kanwil diluar Jawa. Kip­rah spektakuler Gus Dur ketika menyetujui Menteri Keuangan ka­la itu Prijadi PS untuk men-co­pot empat orang kepala Kan­wil Pajak. Langkah Gus Dur dalam membayar pajak juga di­ lakukan dimana beliau mem­be­­rikan contoh dan men­ye­ruh­­kan kepada sejumlah men­teri kabinet, tokoh politik dan be­berapa artis untuk men­ye­rah­kan SPT (Surat Pem­be­ri­ta­huan Tahunan) Pajak Peng­hasilan selama tahun 2000, me­­reka semua langsung me­res­pon dan menyerahkan SPT Tahunan ke Kantor Pelayan Pajak.

Gus Dur juga membuat per­nya­­taan masa depan Indonesia ber­gantung pada pajak. Tapi sayangnya kesadaran pajak masih sangat rendah  dan ia men­­­­yeruhkan pemerintah harus me­ngupayakan  pemungutan Pa­jak Penghasilan secara in­ten­sif dan bertahap. Gus Dur pun meminta Ditjen Pajak untuk mem­­bereskan kemungkinan adanya para pejabat pe­me­rin­tahan dan legistatif yang belum me­miliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan alhasil  Amien Rais ketua DPR kala itu dan Su­silo Bambang Yudhono yang masih menjabat Menko Politik, Sosial dan Keamanan men­yam­paikan SPT Tahunan ke KPP.

Bagaimana pencapaian pe­ne­­­rimaan pajak di era pe­me­rin­tahan Gus Dur? Tentu me­ngu­kurnya dengan alat ukur tax ratio, dimana penerimaan pa­jak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), tax ratio di zaman pemerintahan Gus Dur sebesar 10.7 % se­dang­kan di dibawah rezim Orde Baru tax ratio hanya mencapai 6,1%. Padahal pada masa pe­me­rin­tahan Gus Dur ekonomi In­­­­donesia sedang terpuruk aki­bat gejolak politik maupun kri­sis ekonomi.

Dualitas Sistem

Vi­si perekonomian ketika Gus Dur memerintah menarik untuk dikaji karena kental dengan sifat ekonomi prorakyat, visi ekonomi Gus Dur ketika itu adalah membangun ekonomi yang berbasis pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia yang masih tertinggal, tidak mampu, dan miskin. Tiga go­longan tersebut harus men­dapat per­lindungan dari pemerintah dan diberdayakan melalui ma­na­­jemen dan modal dari pe­merintah. Visi ekonomi yang benar-benar prorakyat bahkan almarhun Nurcholis Madjid me­muji visi ekonomi Gus Dur. Cak Nur mengatakan, "visi eko­nomi Gus Dur bukan saja se­ba­gai payung tapi sebagai alat penunjuk jalan, padoman kerja secara abstrak yang di­ter­je­mah­kan dalam strategi, kebijakan, prog­­­­ram kerja dan anggaran."

Ke­unikan lain dari Gus Dur sebagai mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama tentunya tingkat pemahaman agama Gus Dur pasti mendalam tetapi beliau memandang ekonomi syariah dengan pola yang ber­be­da dari kebanyakan ulama me­mandang, ini nampak dalam tulisan beliau yang berjudul "Sya­riatisasi dan Bank Syariah", dalam paparan di tulisan ter­se­but, Gus Dur menyimpulkan bahwa "bank pemerintah telah men­dirikan bank syariah, se­suatu yang masih di­per­de­bat­kan. Bukankah bank syariah men­­yatakan tidak memungut bunga (interest) tetapi menaikan ongkos-ongkos (bank cost) di­atas kebisaan yang layak? Bu­kan­kah dengan prinsip demikian ter­jadi pembengkakan ongkos yang tidak termonitor, sesuatu yang berlawanan dengan prin­sip-prinsip cara kerja sebuah bank yang sehat. Lalu, ba­gai­mana halnya dengan tran­s­pa­ra­nsi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank agar biaya usaha dapat ditekan serendah mung­kin." Nampak jelas bahwa Gus Dur tidak terlalu antusias ter­hadap sistem  ekonomi sya­riah yang saat itu sedang po­pu­ler.

Kebijakan ekonomi Gus Dur pun tidak disukai negara China di­karenakan Gus Dur membatasi pen­jualan produk China di In­do­nesia, karena China dikenal sebagai negara yang menjual produknya ke Indonesia dengan harga murah, karena jika hal ini tidak dibatasi akan memukul in­dustri manufaktur di tanah air. Penulis juga melihat dampak yang terjadi dengan import pro­duk China yang memukul in­dustri garmen Indonesia se­hingga di tahun 2003 Benny Sut­risno sebagai ketua umum API ( Asosiasi Perstekstilan In­d­o­nesia) berteriak tentang sa­fe­guard textil China hal itu sangat masuk akal karena para pe­main industri garmen sekarat tak mampu bersaing dengan pro­duk China. Gus Dur sadar se­kali industri rumahan  seperti gar­men (konveksi) jumlahnya  ri­buan, sektor informal ini ikut mem­bantu menciptakan la­pa­ngan pekerjaan, kalau satu kon­veksi mempekerjakan 20 orang, berarti kalau sektor ini hancur akan muncul pe­ng­ang­gu­ran baru yang jumlahnya ratusan ribu dan akan me­nim­bul­kan dampak sosial yang lain.

Gus Dur juga pernah me­lon­tar­kan dualitas sistem per­da­gangan pada saat acara Kongkow Bareng Gus Dur di Utan Kayu, Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur  tahun 2008, Gus Dur me­nga­ta­kan: "Jika saya terpilih lagi men­jadi Presiden, saya akan meng­gunakan dualitas sistem per­dagangan. Satu sisi, ada per­saingan bebas antara pe­ru­sahaan-perusahaan dunia, tapi kita tariki pajak. Misi kedua ada­lah pem­bangunan ekonomi yang ber­orentasi kepada rakyat kecil. Jadi bukan pertumbuhan saja, tetapi juga pemerataan."

Penulis berpendapat gagasan-ga­gasan Gus Dur selalu menarik untuk dikaji oleh para pengambil keputusan di tanah air sehingga dapat dijadikan pola dasar untuk membuat kebijakan ekonomi maupun perpajakan.  Seorang Gus Dur adalah manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan, pasti kebijakan yang di buat oleh Gus Dur dapat kurang tepat tapi benang merah dari pe­mi­ki­ran Gus Dur adalah bahwa  ke­­bijakan ekonomi Gus Dur pro­rakyat dan keberanian Gus Dur mengemukan pendapatnya wa­lau terkadang mengundang kon­­traversi. Penulis yakin pi­ki­ran-pikiran Gus Dur tidak akan lekang dimakan waktu dan tetap relevan untuk manfaat bangsa kita.

* Dosen dan Alumnus Magister Akuntansi Perpajakan Trisakti.

Sumber: http://wahidinstitute.org/v1/Opini/Detail/?id=281/hl=id/Gagasan_Gus_Dur_Untuk_Ekonomi


Postingan Sebelumnya:


Tidak ada komentar: