Rabu, 04 Oktober 2017

Pidato Guru Besar (Honoris Causa) KH. Ma'ruf Amin



KH. Ma’ruf Amin menyampaikan pidato guru besar (honoris causa). Ekonomi Syariah menjadi alternative solusi atas ketidakadilan di negri ini. Dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up), bukan dari atas ke bawah (top-down)

Muslim di Indonesia, adalah mayoritas.namun, di bidang ekonomi menjadi minoritas.

Ketidakadilan suguh begitu nyata. Rais Am Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf amin Menegaskan, ekonomi Indonesia yang selama ini lebih bayak mengunakan pendekatan top-down ataw dari atas kebawah, di waktu mendatang harus memperbesar pendekatan dari bawah ke atas(bottom up). ekonomi syariah merupakan salah satu alternative solusi atas ketidak adilan ini.

“Ke depan, ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi umat. Bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat,” katanya.

Kiai ma’ruf amin, yang juga ketua umum majlis ulama indinesia (MUI)pusat, pada rabu 24 mei 2017, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang ilmu ekonomi muamalat syariah,di universitas maulana malik malang. Pengukuhan ini merupakan penghargaan tertinggi di bidang akademik terkait dengan sinergitas ulama dan umara, dihadiri Presiden Joko Widodo ini, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, Mentri Agama Lukman Hakim, dan sejumlah pejabat lainnya.

Prof. Kiai Ma’ruf Amin ,mengungkapkan, apabila komitmen pemerintah tentang ekonomi syariah dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia pasar dan pemain ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah. Karena, selain Indonesia menjadi pasar potensial karna jmlah penduduk yang mayoritas muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi bagi para pelakunya.

Kiayi Ma’ruf menceritakan sejarah perkembangak bank syariah yang pertama didirikan pada tanhun 1991. Bank tersebut merupakan tidak lanjut dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tauhun setelah berdirinya bank syariah pertama tersebut lahir undang undang Nomor 07 tahun 1992 tentang perbankan , yang memuat tentang telah dimungkinkannya kegiantan usaha perbankan dengan menggunakan prinsif syari’ah yang disebut dengan istilah bagi hasil.

Ikhtiar untuk membuat regulasi perbankan terus dilakukan. Pada tahun yang sama pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 07 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsif  bagi hasil (lembaran Negara 1992/119, dan penjelasannya dalam lembaga Negara nomor 3505 ). Dalam PP. Nomor 72 tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (ayat 1), yang dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasar 5 ayat 2).

Enam tahun setelahnya terbit UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang -undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang secara jelas didalamnya mengakomondasi dual banking system di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Hubungan baik yang terjadi antara lain Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional-Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menghasilkan banyak Peraturan  Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakana bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi Negara telah berlangsung dengan baikdi sektor perbankan.

Hal yang sama juga terjadi di sektor lain; seperti sektor asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Pada tahun 2003 MUI merilis fatwa tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba.

“Epek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari  ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah masalah ekonomi syariah , baik di bank Indonesia melalui direktorat pembiayaan syariah, Bapepam LK, biro asuransi syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang kesemuanya saat ini disatuatapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.

Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistik yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998 hanya ada satu bank syariah.

Pada rentang 1998 sampai dengan 2002 lahir lima bank syariah. Sedangkan setelah fatwa keharaman bunga bank dikeluarkan pada 2003, semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa Unit Usaha Syariah, ataupun Bank Umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi disektor non-bank; banyak lahir asuransi syariah, multi-finance syariah, pasar modal syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya.

Hal itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Kondisi ini semakin menunjukan ada hubungan yang kuat sekali antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dinamika tumbuh kembang sektor ekonomi syariah di Indonesia.

 “Para ulama di DSN-MUI sangat bertanggung jawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharijfiqhiyah) sebagai landasannya,” tegasnya.


Prof. Kiai Ma’ruf Amin Menjelaskan, setidaknya ada empat solusi fikih yang dijadikan landasan fatwa DSN-MUI; yaitu al-tasyir al-manhaji,tafriq al-halal ’An al-Haram, I’adah al-nadhar, dan tahqiq al-manath.

Al-tasyir al-manahij dapat diartikan memilih pendapat yang ringan namun tetap sesuai aturan. Meskipun mengambil pendapat yang lebih meringankan (at-taisir) namun tetap dalam karidor manahij yang ada.

“Artinya, fatwa DSN-MUI akan memberikam jalan keluar dengan memberikan solusi terbaik selama tidak  bertentangan dengan syariah. Namun demikian, penggunaan metode tersebut tidak boleh dilakukan secara berlebihab (al-mubalagah fi al-taysir). Hal ini tidak dibenarkan karena menimbulkan sipat meremehkan (al-tasahul)”, tandasnya.

Metode al-taysir al-manahij dimaksud agar menghindarkan fatwa disahkan tanpa mengikuti pedoman. Tidak jarang suatu masalah dijawab dengan fatwa meringankannamun hanya mempertimbangkan aspekkemaslahatannya saja dan tidak mengindahkan aspek kesesuaian metodologisnya (al-manahij).

“Dalam pandangan kami, hal itu tidak boleh dilakukan karena berpotensi terperosokpada mencari cari hal-hal yang ringan saja (tatabbu’a rukhash) yang dilarang dalam syariat islamiyah”, ujarnya.

Prinsip dasar penerapan kaidah al-taysir al-manahij dalam fatwa DSN-MUI adalah menggunakan pendapat yang lebih rajih dan lebih maslahat jika memungkinkan; jika tidak, maka yang digunakan adalah pendapat yang lebih mashlahat (saja).

Langkah oprasionalnya, mencari solusi fiqih yang secara dalil lebih kuat dan sekaligus lebih membawa kemaslahatan .

Namun apabila hal itu tidak bisa (atau sulit) dilakukan,  maka yang didahulukan adalah pertimbangan kemaslahatan,sedangkan kekuatan dalil (aqwa dalilan) dijadikan pertimbangan setelahnya.

“Karena itu , tidak menutup kemungkinan dalam fatwa DSM-MUI didasarkan pada pendapat ulama yang dulu dianggap sebagai pendapat yang lemah (qaulun marjuhun), namun karena stuasi dan kondisi saat inipendapat tersebut dianggap lebih membawa kemaslahatan.”

Contohnya, penerapan kaidah penetapan hukum ekonomi syariah yang selama ini dikenal ada dua pandangan. Yakni pandangan substanstif yang menjadiakan tujuan/ hasil akhir dan isi (al-maqqasid wa al-maani) sebagai urgen dalam menentukan hukum; dan pandangan legal-formal yang mengunakan kata/kalimat dan bentuk (al-alfazh wa al-mabani) sebagai urgen dalam menentukan hukum.yang pertama mengunakan kaidah “patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah tujuan dan maknanya adalah bukan kata-kata dan susunannya “. Dan yang kedua menggunakan kaidah ”patokan (untuk menentukan keabsahan) akad adalah kata-kata dan susunannya, bukan tujuan dan maknanya.

Oleh DSN-MUI pandangan yang terlihat antagonis tersebut dua duanya diadopsi dan dipakai dalam menetapkan fatwa DSN-MUI, tergantung mana yang paling punya relevansi dengan aspek kemaslahatan.(Riadi Ngasiran, AULA Juli 2017)

 Moto:


Ditulis Ulang oleh Atep Maksum

Cianjur, 04 Oktober 2017 M.

Tidak ada komentar: